Macam-Macam Kebudayaan Madura


1. Keraban Sapeh

Keraban Sapeh atau lebih familiar disebut dengan karapan sapi, merupakan kebudayaan suku Madura yang sangat khas dan terkenal. Karapan sapi merupakan kesenian pesta adat rakyat berupa perlombaan dengan menggunakan semacam gerobak yang ditarik oleh dua ekor sapi dan terdapat satu joki sebagai pengendali laju sapi. Sejarah karapan sapi berawal dari Syeh Ahmad Baidawi yang memperkenalkan kepada masyarakat Madura tentang cara bercocok tanam sawah dengan menggunakan alat dari sepasang bambu disebut ‘nanggala’ atau ‘salaga’. Nanggala atau salaga ini ditarik oleh dua ekor sapi yang kemudian digunakan untuk membajak persawahan. Karapan sapi pada awal mulanya digunakan untuk menyeleksi sapi-sapi terbaik yang bisa digunakan untuk membajak sawah. Namun kemudian hal ini berkembang menjadi tradisi dan kesenian tersendiri.

Masyarakat Madura biasa mengadakan perlombaan karapan sapi pada sekitar bulan-bulan Agustus dan September dan finalnya biasa dilaksanakan pada bulan Oktober. Tradisi tahunan karapan sapi ini cukup bergengsi di kalangan suku Madura karena sapi yang menjadi juara pada perlombaan ini selain meningkatkan status daya jualnya, juga dapat meningkatkan status sosial pemilik sapi. Karapan sapi biasa dilaksanakan pada areal persawahan dengan panjang lintasan sekitar 100 meter. Joki-joki karapan sapi harus berusaha memacu sapi-sapi mereka untuk dapat mencapai garis finish terlebih dahulu, yang tercepatlah yang dinyatakan sebagai pemenang.


2. Saronen
Saronen merupakan alat musik tradisonal khas suku Madura. Saronen memiliki bentuk kerucut memanjang menyerupai terompet dan dimainkan dengan cara ditiup. Saronen awal mulanya lebih dikenal dengan nama Sennenan yang artinya hari Senin. Sejarah Saronen berawal dari Kyai Khatib Sendang yang merupakan cicit dari Sunan Kudus menggunakan alat ini sebagai media dakwahnya untuk menyebarkan Islam di Madura. Setiap hari Senin Kyai Khatib menggunakan alat musik tiup ini untuk mengumpulkan masyarakat Madura yang tengah berbelanja di pasar dan sekaligus menghibur mereka. Selepas mereka berkumpul dan terhibur Kyai Khatib menyelinginya dengan dakwah nilai-nilai Islam. Oleh sebab itu alat musik tiup ini awal mulanya lebih dikenal dengan Sennenan. Bentuk alat musik Sennenan atau Saronen serta bunyi khas yang dikeluarkannya mirip dengan alat musik Selompret yang digunakan pada kesenian Reog pada kebudayaan Ponorogo dan biasa juga dipakai dalam kesenian Kuda Lumping.

Dalam perkembangannya Saronen kemudian menjadi tradisi kesenian musik tersendiri. Tidak lagi hanya berbicara alat musik tiup, Saronen dimainkan dengan diiringi beberapa alat musik lain, diantaranya kendang, gong besar, gong kecil, kenong besar, kenong kecil serta kempul. Kesenian saronen biasa dimainkan ketika ada pesta adat pernikahan, pesta adat rakyat ataupun ketika penyelenggaraan turnamen karapan sapi.

3. Bhubu’an
Tradisi bhubu’an dikembangkan oleh masyarakat suku Madura yang mendiami wilayah Bangkalan. Tradisi bhubu’an merupakan tradisi memberi kado pada hajat pernikahan. Pada zaman dahulu, bhubu’an berupa bahan pangan dan sembako, namun seiring perkembangan zaman, sekarang sudah lebih banyak menggunakan uang.

Pada tradisi bhubu’an, para tamu undangan biasanya menyerahkan kado pemberian mereka kepada para penerima tamu. Para penerima tamu ini lantas kemudian mencatat nama dan besaran pemberian atau barang-barang apa saja yang diberikan sebagai kado pemberian. Fungsi pencatatan ini nantinya sebagai administrasi bagi tuan rumah yang memiliki hajat untuk mengembalikan kembali kado pemberian tersebut kepada pemberinya. Maksudnya ketika nanti si pemberi kado sedang ada hajat, maka tuan rumah tadi akan membawa bhubu’an yang senilai dengan yang diberikan atau bisa lebih. Tradisi ini menunjukkan sikap sosial suku Madura yang tolong menolong.

4. Pesa’an
Pesa’an merupakan sebutan bagi pakaian tradisional khas suku Madura. Pesa’an pada pakaian pria terdiri dari kaos yang bermotif garis dengan warna merah dan putih yang dipadu-padankan dengan baju dan celana longgar berwarna hitam. Sebagai pelengkap digunakan ikat kepala yang disebut odheng dan juga senjata tradisional clurit yang diselempangkan. Sedangkan pada wanita lebih sederhana dan lebih mirip dengan pakaian suku Jawa dengan atasan kebaya dan bawahan kain Jarit.

Pada zaman dahulu, pesa’an biasa digunakan oleh para guru agama atau biasa disebut dengan molang. Warna dan motif garis yang ada pada kaos pesa’an memiliki makna ketegasan dan keberanian serta semangat kerja keras. Oleh sebab itu suku Madura dikenal sebagai masyarakat yang memiliki pribadi berani, keras, tegas serta memiliki etos kerja keras yang tinggi.


5. Haji sebagai Tujuan Hidup
Orang suku Madura yang terkenal dengan kerja keras dan keteguhannya dalam memegang nilai-nilai Islam, memiliki tujuan hidup yang sama yakni naik Haji. Pergi berhaji bagi masyarakat Madura selain sebagai bentuk penyempurna ibadah sebagaimana yang ada dalam ajaran Islam, juga merupakan salah satu bentuk menunjukkan status sosial di kalangan masyarakat. Predikat haji bagi suku Madura memiliki prestise tersendiri.

Mereka yang telah berhasil menunaikan ibadah haji, maka lingkungan sosialnya akan memanggil mereka dengan sebutan ‘abah’ untuk pria dan ‘umi’ untuk wanita. Secara tidak langsung sebutan ini seperti meningkatkan kasta sosial mereka dibandingkan dengan orang-orang yang belum berhaji. Bagi orang Suku Madura, pergi berhaji terkadang tidak cukup hanya sekali, selagi mereka memiliki kemampuan secara ekonomi maka mereka akan terus pergi berhaji, dan otomatis status sosialnya pun akan terus merangkak naik. Oleh sebab itu, berhaji bagi suku Madura menjadi sebuah nilai budaya tersendiri.

6. Carok
Carok berasal dari bahasa kawi kuno yang artinya perkelahian. Tradisi carok merupakan tradisi pertarungan atau perkelahian antara dua orang atau dua keluarga besar dengan menggunakan senjata tradisional clurit. Pertengkaran ini biasanya berkaitan dengan harga diri, baik diri pribadi maupun keluarga. Lebih banyak biasanya dipicu masalah perebutan wanita. Terkadang tradisi carok ini bisa membawa pada munculnya korban jiwa.

Suku Madura memegang prinsip hidup “ Lebbhi bagus pote tolang etembheng pote mata “, yang artinya lebih baik putih tulang (mati) daripada putih mata (menahan malu). Oleh sebab itu bila terjadi permasalahan yang menyangkut harkat dan martabat diri suku Madura, maka carok merupakan solusi jalan keluarnya. Filosofis inilah yang sempat memunculkan konflik budaya dengan kebudayaan suku dayak ketika suku Madura bermigrasi ke tanah Kalimantan.

Tradisi carok mulai berkembang pesat ketika Belanda pada saat ingin menguasai tanah Madura, menggunakan para jawara yang disebut Blater untuk menantang dan beradu duel dengan masyarakat pribumi. Tujuannya adalah untuk menimbulkan rasa takut. Pak Sakera merupakan salah satu orang Madura yang sangat keras memberontak penjajahan Belanda, Pak Sakera dengan cluritnya melakukan perjuangan melawan para Blater Belanda. Belanda sendiri juga sering menggunakan carok untuk mengadu domba masyarakat Madura. Bila ada perselisihan dan persengketaan, Belanda selalu mengajukan carok sebagai jalan, dan sejak saat itu carok dan clurit sangat kental dalam kebiasaan suku Madura. Hingga hari ini tradisi carok masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat Madura.

7. Mondok
Keseluruhan suku Madura merupakan penganut Islam yang kuat. Madura sendiri merupakan bagian dari wilayah tapal kuda yang dikenal dengan adat kyai dan pesantren. Di Madura terdapat lebih dari 200an pondok pesantren Islam. Orang Madura biasanya lebih menyukai menyekolahkan anak-anaknya ke pondok pesantren yang biasa disebut dengan istilah mondok daripada menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah umum. Bagi mereka ilmu agama lebih penting daripada ilmu dunia. Keluarga suku Madura sudah terbiasa melepas anak-anak mereka untuk mondok sejak usia kecil. Biasanya mereka mondok tidak hanya di sekitaran pulau Madura tetapi bisa hingga ke wilayah-wilayah Jawa Timur yang memiliki basis pondok pesantren Islam.

Kebiasaan mondok dan keteguhannya pada nilai-nilai Islam ini menjadikan orang suku Madura memiliki ketundukan dan kepatuhan yang tinggi terhadap para kyai Islam yang dipandang memiliki kelebihan ilmu agama. Kyai merupakan sosok yang sangat dihormati oleh orang suku Madura. Kepatuhan ini hingga menjadi sebuah jargon bagi suku Madura bahwa sejahat-jahatnya atau sebengis-bengisnya orang Madura, mereka akan tetap patuh dan tidak berani melawan guru dan Kyainya.

8. Clurit
Suku Madura memiliki senjata tradisional yang sangat khas yang disebut clurit. Bentuk Clurit mirip dengan arit pada suku Jawa yang biasa digunakan untuk bertani dan berkebun. Perbedaannya, bentuk clurit lebih ramping dengan lingkar lengkung yang lebih tipis serta memiliki ujung yang lebih lancip. Clurit dilengkapi dengan gagang yang terbuat dari besi atau kayu.




Kesenian Madura


Madura adalah salah satu pulau di Indonesia yang kaya akan ragam budaya, salah satu budaya yang sampai saat ini masih dilestarikan keberadaannya adalah saronen.Dalam sebuah buku yang berjudul “ Lebur; Seni Budaya dan Musik Madura” karangan Helene Bourvier. Saronen adalah sebuah alat musik yang berasal dari timur tengah yang mana pada daerah asalnya ia di kenal dengan beraneka ragam nama yaitu surnai,sirnai,sarune,shahnai dan lain sebagainya.

Instrumen itu berbentuk kerucut dari pohon jati dengan enam lubang berderet di belakang dan satu lubang di belakang. Seperti sebuah terompet, meskipun pada dasarnya saronen adalah satu alat yang serupa terompet. Namun orang-orang Madura menyebut nama saronen untuk keselruhan permainan musik tersebut

Musik saronen muncul karena kreatifitas orang Madura yang kemudian menjadikan musik saronen khas Madura. Kata saronen tersebar ke pulau jawa dan Madura seiring dengan nusantara lainnya, karena itulah setiap nusantara memilki perbedaan budaya dalam memainkan saronen

Saat ini budaya saroenen mengalami pergeseran perbedaan kostum, dimana pada sekitar tahun 80-an kostum yang dipakai para pemain music saronen adalah kostum-kostum yang berkarakter, sedangkan sekarang mulai diruabh pada kostum-kostum yang berbau modern

Prosesi Saronen

Saronen yang umum di adakan di sekitar masyarakat Madura adalah ketika. Pertama. Ajang Sapi Sono’(lomba kecantikan sapi) atau biasa di sebut sebagai “ Lotrengan” oleh orang Madura yaitu sebuah arisan sapi sono yang melombakan sapi.Biasanya saronen yang mengiringi sapi sono berada di belakang sapi sono sambil mengiringi dengan berjalan perlahan-lahan. Dalam prosesi ini akan terlihat keunikan tersendiri karena dengan sendirinya sapi akan menggerakkan tubuhnya seiring dengan alunan musik Saronen.

Kedua, Kerapan Sapi ; dalam acara ini Saronen berperan sebagai pengiring hiburan .Ketiga,Pernikahan; dalam acara pernikahan biasanya Saronen mengiringi pasangan pengantin yang menaiki kuda dan berarak mengitari perkarangan rumah atau jalan.Keempat,Nadzar ingin menziarahi kubur. Hal ini biasa di lakukan oleh masyarakat Madura pada zaman dahulu kala.Kelima,Khitanan yang terkadang di adakan dalam rangka hiburan semata.

Copyright © | by: akbar